Balai Inspirasi

Cari Inspirasi

Kamis, 05 Januari 2012

IMPIAN MENJADI GURU DI MASA DEPAN



Pendidikan merupakan hal pertama yang dipikirkan oleh setiap orang tua. Oleh karena itu, pembenahan diri terhadap pendidikan yang bermutu sebagai calon guru merupakan modal dari terbentuknya sebuah keluarga untuk anaknya.

Sejak SMA kelas 11, saya telah bercita-cita untuk menjadi seorang guru dan hal ini didukung oleh keluarga pula.

Selain itu, adanya niat dari diri sendiri untuk bercita-cita menjadi seorang guru, sekaligus adanya contoh dan bantuan dari kakak-kakak perempuan yang semuanya menjadi seorang guru dari zaman saya masih SD hingga sekarang mengabdi kepada sekolah.

Untuk membenahi system pendidikan yang baik, perlu adanya perbaikan atau pembenahan pada diri sendiri sebagai calon guru serta memahami perbedaan pendidikan antara mendidik SD, SMP, SMA dan perkuliahan.

Setelah memasuki masa perkuliahan, saya mulai meneliti untuk mencari jawaban. Bagaimanakah cara mendidik anak SMK terlebih dahulu???

Ternyata setelah saya mengajar disekolah tersebut, banyak hal yang perlu dibenahi pada diri saya sendiri. Seperti halnya, dalam bidang beribadah kepada YME, perlu ditingkatkan lagi agar menjadi contoh yang baik bagi peserta didik. Selain itu, dari segi pengajaran perlu adanya pembelajaran yang menarik yakni dengan menggunakan games ataupun system PAIKEM yang kini diajarkan kepada guru-guru agar memberikan pembelajaran lebih menarik..

Setelah itu, saya memberanikan diri untuk mengajar di SD. Pada saat itu saya hanya berfikir “ah kayanya gampang kalo Cuma ngajar anak SD kaya ngajarin keponakan dirumah”. Walhasil yang saya dapatkan dari SD tersebut adalah hal yang sama dengan system pengajaran di SMK dan penambahan perlu adanya kesabaran dan ketelatenan yang baik untuk mendidik mereka.

Dari semua itu, pola pikir yang berbeda tentang cara mendidik dengan taraf yang berbeda pula harus ditingkatkan. Walaupun sekarang guru hanya mengajar di satu sekolah saja dan dengan satu taraf saja. Tetapi perlu adanya penambahan pembelajaran yang baik untuk seorang anaknya sendiri sesuai dengan tingkatan anak yang mereka miliki.

Pembenahan diri, penambahan ilmu, perbaikan system pengajaran yang lebih maju menjadi modal tersendiri bagi si pendidik. Jika dilihat untuk zaman sekarang, sudah mulai adanya perbaikan yang maju dan modern dengan adanya pelatihan-pelatihan bagi guru.

Terlihat dari segi hal tersebut, kemajuan dari pola pikir seorang guru memang perlu diperlukan. Menerima pendapat peserta didik, bergaul dengan peserta didik. Peran dan figur para guru menjadi penting tatkala perilaku baik menjadi tujuan yang hendak dicapai.

Mungkin terlihat mudah bagi kita untuk melaksanakan ini semua, tetapi tidak pada kenyataannya. Tidak semua orang bisa mengajar dan mendidik, perlu adanya tingkat mental yang baik dan jiwa yang semangat untuk mencari ilmu serta memberikan ilmu kepada orang yang membutuhkan yakni disebut peserta didik.

Impian menjadi guru yang dari dulu saya cita-citakan kini telah terwujud, dan disyukuri atas nikmat Allah berikan kepada saya. Ikhtiar yang saya lakukan kini telah membuahkan hasil yang telah diharapkan.

Belajar dari keluarga itu, sangatlah menarik jika hal itu diterapkan dalam keluarga pendidikan, khususnya dalam lingkup sekolah kaitannya dengan korps guru.

Bagaimana para guru menjaga keutuhan guru-guru sebagai satu keluarga pendidik adalah sebuah proses pembentukan karakter sebagai pendidik yang baik dan benar?? Problematik pastinya akan menyelimuti dan bergejolak dalam keluarga pendidik itu. Perbedaan pendapat, keragaman karakter, dan aneka latar belakang menjadi faktor yang bisa memunculkan berbagai problematik yang bahkan merujuk pada konflik. Dalam kehidupan bersama, hal itu semestinya menjadi sebuah kenormalan dan kesadaran bersama.

Masalahnya adalah bagaimana guru-guru dalam satu kesatuan keluarga pendidik bersikap ke luar berangkat dari perbedaan yang memungkinkan adanya konflik itu. Inilah sebuah proses pribadi dalam komunitas keluarga pendidik menuju pada pembentukan karakter guru yang bijaksana. Ketidakmampuan mengolah konflik atau lika-liku proses di dalam keluarga pendidik kadangkala dengan mudahnya mencari sebuah pelampiasan yang cenderung menjadi sebuah pembelaaan atau pembenaran diri.

Sebagai sebuah contoh, adanya beberapa guru dalam satu bidang studi dapat menimbulkan ketidakdewasaan guru yang menjurus pada perilaku tidak bijaksana di luar keluarga pendidik. Adanya perbedaan paradigma dalam pembelajaran atau bahkan permasalahan pribadi di antara mereka seringkali dengan mudah masing-masing guru saling menjelek-jelekkan di depan siswa atau juga orang tua siswa. “Wah…. gak benar seperti itu! Gurumu kelas satu tuh gimana tho ngajarnya?” Itu sebuah contoh ungkapan seorang guru di kelas dua yang secara tidak langsung mau mengatakan bahwa guru kelas satu dari anak-anak itu “salah” atau lebih keras lagi “bodoh”. Atau, “Wah…. memang benar bu, Pak/Bu X itu kalau ngajar asal-asalan.” Ini malah secara terang-terangan menjelek-jelekkan guru lain di depan orang tua siswa.

Sesungguhnya menjelekkan anggota keluarga lain (sesama guru) tidak memberi solusi apa-apa, malah justru menunjukkan ketidakdewasaan karakter karena membuat masalah keluarga pendidik menjadi konsumsi publik yang tidak tahu-menahu konteks permasalahanya. Yang ada adalah justru membuat penghakiman atas guru tertentu yang mana penghakiman itu melahirkan sebuah fitnah yang keji. Fitnah inilah sebuah pembunuhan karakter yang tidak adil karena orang yang difitnah tidak memiliki kesempatan untuk menjelaskan apa-apa. Yang ada adalah para murid dan orang tua siswa menghakimi guru tertentu atas dasar informasi guru tertentu pula.

Akhirnya, pembelajaran dalam keluarga pendidik harus terus dilakukan secara berkesinambungan untuk mendewasakan masing-masing pribadi. Usia sesorang bukanlah ukuran dan jaminan kedewasaan karakter sesorang. Namun kemauan belajar dan terus belajar adalah sebuah harapan akan kedewasaan karakter, khsusnya dalam keluarga pendidik. Peran pemimpin sangat penting dalam memfasilitasi para anggota keluarga pendidik untuk terus belajar lewat perjumpaan bersama dalam suasana bicara dari hati ke hati secara teratur dan terus menerus, seperti sarasehan guru, pembelajaran di alam untuk guru, acara rohani bersama, dan masih banyak lagi. Marilah kita mendewasakan karakter diri sendiri demi karakter/kepribadian keluarga dengan mengupayakan guru yang bijaksana!!

Ranah proses berfikir (Kognitif), ranah nilai atau sikap (Afektif), dan Ranah keterampilan (Psikomotorif). Dalam konteks evaluasi hasil belajar, maka ketiga hal atau ranah itulah yang harus dijadikan sasaran dalam setiap kegiatan evaluasi hasil belajar. Sasaran kegiatan evaluasi hasil belajar adalah:

1) Apakah peserta didik sudah dapat memahami semua bahan atau materi pelajaran yang telah diberikan pada mereka?

2) Apakah peserta didik sudah dapat menghayatinya?

3) Apakah materi pelajaran yang telah diberikan itu sudah dapat diamalkan secara konkrit dalam praktek atau dalam kehidupannya sehari-hari?

Ketiga ranah tersebut menjadi obyek penilaian hasil belajar. Akan tetapi diantara ketiga ranah itu, ranah kognitiflah yang paling banyak dinilai oleh para guru disekolah karena berkaitan dengan kemampuan para siswa dalam menguasai isi bahan pengajaran. Sedangkan akhlak yang menjadi citra bangsa menjadi lebih baik menjadi di nomor kesekiankan.

Tugas pendidik atau guru bukan sekedar menyalurkan ilmu pengetahuan, tetapi merangkumi pendidikan akhlak kepada anak murid. Mengajar dalam apa bidang sekalipun, aspek membina kepribadian seharusnya diletakkan sebagai teras kepada usaha pendidikan itu. Dalam zaman serba modern secara pengajarannya guru juga semakin bersabar dengan tingkah laku peserta didik. Banyak dilaporkan mengenai adanya guru yang tidak dapat mengatur emosi lalu mengambil tindakan menghukum anak didik di luar batas etika sebagai seorang pendidik.

Pada suatu tingkat tertentu mungkin guru yang terlihat afektif tidak efektif pada tingkat yang lain, hal ini disebabkan oleh adanya perbedaan-perbedaan dalam tingkat perkembangan mental dan emosional peserta didik. Dengan kata lain para siswa memiliki respons yang berbeda-beda terhadap pola-pola prilaku guru yang sama. Guru yang baik dapat dideskripsikan sebagai berikut :

Guru yang baik adalah guru yang waspada secara profesional. Ia terus berusaha untuk menjadikan masyarakat sekolah menjadi tempat yang paling baik bagi anak-anak muda ataupun anak-anak kecil tergantung taraf guru tersebut mengajar. Mereka yakin akan nilai atau manfaat pekerjaannya. Mereka terus berusaha memperbaiki dan meningkatkan mutu pekerjaannya. Mereka tidak lekas tersinggung apabila ada yang berbeda opini dengannya, bahkan dapat menerimanya jika itu yang terbaik untuk dirinya. Mereka secara psikologi lebih matang sehingga rangsangan-rangsangan terhadap dirinya dapat diterima. Mereka memiliki seni dalam hubungan-hubungan manusiawi yang diperolehnya dari pengamatannya tentang bekerjanya psikologi dan kultural di dalam kelas.

Guru perlulah senantiasa ingat bahwa mendidik manusia memerlukan kesabaran tinggi dan nilai kasih sayang yang kental. Tanpa dua sifat penting itu, guru akan berhadapan masalah. Dengan kasih saying seorang guru serta diiringi dengan kesabaran dan ketekunan dalam mendidik peserta didik akan membuahkan hasil yang baik bagi peserta didik dan timbale balik kepada guru itu menjadi guru favourite di sekolah tersebut dan disayangi serta dihormati oleh peserta didik.

Dengan menjadi guru seperti itu, system belajar dan pembelajaran akan tercapai secara maksimal. Seorang guru akan nyaman dengan keadaan kelas yang peserta didiknya saying akan kepada gurunya, bukan membangkang kepada gurunya.

Guru lebih mudah dikenal dan diingat siswa. Guru yang berkarakter lebih dikenang dibadingkan guru yang biasa saja “yang penting ngajar”. Jika guru memiliki murid yang selalu diidolakan dan dibanggakan, begitu pula sebaliknya, murid pun memiliki guru idola.

Menerangkan dengan jelas. penyampaian materi yang jelas menjadi poin plus untuk setiap guru. Terlebih lagi apabila guru tersebut mau mengulang materi yang telah disampaikan jika masih ada siswa yang kurang paham.

Periang dan memiliki rasa humor. Sikap periang dan memiliki selera humor dapat mencairkan suasana yang tegang dalam kelas. Hendaknya sikap periang dan humor ini ditempatkan pada situasi, kondisi yang tepat dan tidak berlebihan.

Menaruh perhatian kepada setiap siswa tanpa “menganak-emaskan” salah satu dari mereka. Serta selalu memahami situasi siswa baik fisik maupun mental.

Memberi motivasi untuk membangkitkan minat dan semangat siswa dalam belajar. Tegas dan sanggup menguasai kelas. Tidak suka ngomel, mencela, dan marah-marah. apalagi tanpa sebab yang logis. Mempunyai pribadi yang bisa dicontoh. Biasanya siswa akan memandang dari penampilan fisik kemudian berlanjut pada kepribadian.

Mulai sekarang mari berusaha dan terus mencoba untuk menjadi guru sekaligus sahabat yang menyenangkan bagi murid kita. Guru yang diidolakan oleh muridnya adalah guru yang selalu dicari jika tak hadir. Murid akan marah jika bukan kita yang mengajar, dan selalu dinantikan kedatangannya

Dari penjabaran semua ini, marilah kita membentuk kepribadian menjadi lebih baik, meningkatkan kesabaran, ketelatenan, saling menghormati dengan satu ruang lingkup guru, menyayangi peserta didik seperti halnya menyayangi keluarga sendiri. Insya Allah akan tercapai keharmonisan yang indah dalam ruang lingkup sekolah maupun diluar sekolah.

CONTOH SKRIPSI


BAB  II
PERANAN MEDIA PENDIDIKAN
A.   Pengertian Media Pendidikan
Kata media berasal dari bahasa latin dan merupakan bentuk jamak dari kata medium yang secara harfiah berarti perantara atau pengantar. Media adalah perantara atau pengantar pesan dari pengirim ke penerima pesan.
Secara harfiah media diartikan “perantara” atau “pengantar”. AECT ( Association for Educational Communication and Tecnologi ) mendefinisikan media yaitu sebagai bentuk yang digunakan untuk proses penyaluran informasi.
Banyak batasan yang diberikan orang tentang media. Salah satunya adalah media sebagai salah satu bentuk dan saluran yang digunakan orang untuk menyalurkan pesan dan informasi /pesan. Para ahli mengemukakan pendapatnya tentang media pendidikan , menurut Cagne ( 1970 ) menyatakan media  adalah berbagai jenis komponen dalam lingkungan siswa yang dapat merangsangnya untuk belajar.[1]  Sementara Briggs (1970 ) berpendapat bahwa media adalah segala alat fisik yang dapat menyajikan pesan serta dapat merangsang siswa untuk belajar . Buku , film, kaset, adalah contoh-contohnya[2].
Pendapat lain dikemukakan oleh Robert Hanick dan kawan-kawan (1986) mendefinisikan media adalah segala sesuatu yang membawa informasi antara sumber (source) dan penerima ( receiver ) informasi.hampir sama dengan pendapat di atas, menurut Kemp dan Dayton peran media dalam
BAB III
 PROFIL SEKOLAH
GAMBARAN UMUM YAYASAN PENDIDIKAN ISLAM
AL WATHONIYAH AL HAMIDIYAH

A. Sejarah Berdirinya Madrasah Al Wathoniyah Al Hamidiyah
                              Yayasan pendidikan Islam Al Wathoniyah Al Hamidiyah adalah sebuah yayasan yang didirikan oleh K.H. Muhalie M.T beserta istri Ustz. Hj. Hamidah Ali, sekolah yang dibangun tahun 1970  ini berdiri di atas lahan seluas 1200meter   dengan luas bangunan 800 meter dan telah memiliki sekolah di dua tempat yaitu di jalan I Gusti ngurah Rai, Klender sebagai pusat sekolah dan di jalan Kerta Radjiman Widyo Diningrat Cakung, Jakarta timur sebagai cabang sekolah dan memiliki dua jenjang yaitu Madrasah Ibtidaiyah dan Madrasah Tsanawiyah yang terakreditasi B, dengan waktu balajar pukul 06.30 sampai pukul 14.30.
                              Sebagaimana halnya basikmadrasah tujuan didirikannya madrasah ini adalah untuk turut mengembangkan masyarakat dalam bidang intelektual bercirikan islam.
B. Visi dan Misi Sekolah
Visi       : Madrasah Al wathoniyah Al HAmidiyah berupaya mendidik   siswa/siswi menjadi cerdas inteletual dan spiritual, kkreatif serta disiplin.



[1]         Prof. Dr. Yusufhadi Miarso, M.Sc, Menyemai Benih Teknologi Pendidikan (Jakarta, Pustekkom DIKNAS )
[2]        Arief S. Sadiman, dkk, Media Pendidikan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007), hal 10

Rabu, 04 Januari 2012

PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA PERTAMA KALI


a.       Al-Jami’at Al Khairiyah
Organisasi lebih dikenal dengan nama Jami’at Khair ini didirikan di Jakarta pada tanggal 17 Juli 1905. Anggota organisasi ini mayoritas orang-orang Arab. Umumnya anggota dan pemimipinnya terdiri dari orang-orang yang berada tanpa mengorbankan usaha pencaharian nafkah.
1.       Pendirian dan pembinaan satu sekolah pada tingkat dasar
Sekolah dasar Jami’at Khair bukan semata-mata mempelajari pengetahuan agama tetapi juga mempelajari pengetahuan umum lainnya. Kurikulum sekolah dan jenjang kelas-kelas telah disusun dan teroganisisr. Bahasa pengantar yang dipergunakan adalah bahasa Indonesia dan Melayu.
2.       Pengiriman anak-anak muda ke Turki untuk melanjutkan studi
Bidang yang kedua inisering terhambat karena kekurangan biaya dan juga karena kemunduran khilafat, dengan pengertian tidak ada seorangpun yang dikirim ke Timur Tengah memainkan peranan yang penting setelah mereka kembali ke Indonesia.
Nama Guru
Keterangan
H. M. Mansur (1907-Padang)
Pengetahuan dalam bidang agama dan berkemampuan berbahasa Melayu
Oktober 1911
Syeikh. A. Surkati (Sudan)
Syeikh M. Taib (Maroko)
Syeikh Abd. Hamid (Makkah)
Sukarti memainkan peranan penting dalam penyebaran pemikiran-pemikiran baru dalam lingkungan masyarakat Islam Indonesia.
Taib tidak lama tinggal di Indonesia dan pulang ke Maroko pada tahun 1913
Hamid dipindah ke Bogor pada sebuah sekolahan dengan nama Jami’at Khair juga.
Oktober 1913
M Abd. Fadal Ansari (Sudan)
M. Noor (Abd. Anwar) al-Ansari
Hasan Hamid Al-Ansari
Ahmad Al-Awif
M. Noor pernah belajar di Universitas Al-Azhar di Kairo (1899-1906) dan pernah belajar langsun[pheg dari Syaikh M. Abduh (reformer Mewsir). Hal ini Nampak ujelas pada pengajaran yang mereka pentingkan adalah bahasa Arab sebagai ilmu alat untuk mengetahui sumber-sumber Islam.

                Jami’at Khair dibentuk pertama memulai organisasi dengan bentuk modern dalam masyarakat Islam. Meskipun asalnya hanya mengenai pendidikan agama tetapinya kemudian meluas sampai kepada mengurus penyiaran Islam serta terlibatnya orang-orang Jami’at Khair dalam politik dalam negeri dan luar negeri.
                Terjadinya hubungan antara masyarakat Indonesia dan masyarakat Arab, juga mengakibatkan terjadinya interaksi antara perkembangan islam di Arab dan perkembangan Islam di Indonesia.[1]
b.      Al-Islah Wal Irsyad
Syeikh Ahmad Sukarti, yang sampai di Jakarta dalam bulan februari 1912, seorang alim yang terkenal dalam agama Islam, bebrapa lama kemudian meninggalkan Jami’at Khair dan mendirikan gerakan Agama sendiri bernama Al-Islah Wal Irsyad dengan haluan mengadakan pembaharuan dalam Islam.
Al Islah Wal Irsyad disahkan oleh pemerintah Belanda  pada 1915. Gerakan ini menurut Pijper merupakan gerakan pembaharuan yang sama dengan reformisme di Mesir.[2]
Al-Irsyad sendiri menjuruskan perhatian pada bidang pendidikan, teutama poada masyarakat Arab, ataupun pada permasalahn yang timbul dikalangan Arab, walaupun orang-orang Indonesia Islam bukan Arab, ada yang menjadi angotanya. Lambat laun dengan bekerja sama dengan organisasi Islam yang lain, seperti Muhammadiyah dan Persatuan Islam, organisasi Al-Irsyad meluaskan pusat perhatian mereka kepada persoalan-persoalan yang lebih luas, yang mencakup persoalan Islam umumnya di Indonesia.
Msalah-masalah agama yang berasal dari gerakan Al-Irsyad sangat menggemparkan masyarakat Islam, karena bertentangan dengan keyakinan yang ada pada saat itu. Terutama Majalah Az-Zakhrirah, yang keluar sejak bulan Muharram 1342 H dan terbit setiap bulan di Jakarta. Majalah yang dipimpin oleh Syekh Ahmad bin M. Sukarti itu berisi kutipan pertanyaan- pertanyaan dari segala penjuru Indonesia mengenai usul furu’ agama, berisi hadits-hadits palsu dan Dhaif yang dipergunakan dalam mempertahankan beberapa hukum ibadat dan muamalat di Indonesia, yang menurut beliau bertentangan dengan Qur’an dan Hadits.

c.       Muhammadiyah
18 November 1912 sebelum perang dunia II, lahirnya organisasi didirikan di Yogyakarta oleh Kyai Haji Ahmad Dahlan atas saran yang diajukan oleh murid-muridnya dan bebrapa orang Budi Utomo untuk mendirikan suatu lembaga pendidikan yang bersifat permanen.
Organisasi ini mempunyai maksud “menyebarkan pengajaran Kanjeng Nabi Muhammad SAW kepada penduduk bumi putera” dan memajukan hal agama Islam kepada anggota-anggotanya.
Usaha lain untuk mencapai maksud dan tujuan ialah dengan:
1.       Mengadakan dakwah Islam
Pengajian tabligh akbar dan dialog dengan pemuka agama lain, dan sebagainya.[3]
2.       Memajukan pendidikan dan pengajaran
3.       Menghidup suburkan masyarakat tolong menolong
4.       Mendirikan dan memelihara tempat ibadah dan wakaf
5.       Mendidik dan mengasuh anak-anak dan pemuda-pemuda, supaya kelak menjadi orang Islam yang berarti
6.       Berusaha ke arah perbaikan penghidupan dan kehidupan yang sesuai dengan ajaran Islam
7.       Berusaha dengan segala kebijaksanaan, supaya kehendak dan peraturan Islam berlaku dalam masyarakat.
Sekitar tahun 1920, perluasan Muhammadiyah ke luar Yogyakarta, manfaat dari persatuan dan dari organisasi pada umumnya telah diakui oleh sebagian besar kalangan muslim di Indonesia.
Dalam 1927 Muhammadiyah mendirikan cabang-cabang di Bengkulu, Banjarmasi, dan Amuntai, sedang pada tahun 1929 pengaruhnya tersebar ke Aceh dan Makassar. Cabang-cabang tersebut bersifat permanen dalam kegiatannya, yaitu dengan mendirikan sekolah, kursus-kursus yang teratur ataupun memelihara anak yatim piatu.
Tahun 1925, organisasi ini telah mencapai 29 cabang-cabang dengan 4000 anggota.
d.      Perserikatan Ulama
Perserikatan Ulama merupakan perwujudan dari gerakan pembaharuan di daerah Majalengka Jawa Barat yang dimulai pada tahun 1911 atas inisiatif K.H Abd. Halim, lahir pada tahun 1887 di Ciberelang Majalengka.
Pada tahun 1917 perserikatan ulama diakui sah secara hukum oleh pemerintah dengan bantuan H.O.S Cokroaminto (Pemimpin Serikat Islam). Pada tahun 1924 secara resmi meluaskan daerah operasinya ke seluruh Jawa dan Madura dan pada tahun 1937 ke seluruh Indonesia.
Pada tahun 1932, dalam suatu konres perserikatan Ulama di Majalengka, KHA Halim mengusulkan agar sebuah lembaga didirikan yang akan melengkapi pelajar-pelajarnya bukan hanya dengan berbagai cabang ilmu pengetahuan agama dan ilmu pengetahuan umum, tetapi juga dengan kelengkapan-kelengkapan berupa pekerjaan tangan, pedagang dan pertanian, bergantung dari bakat masing-masing.
e.      Persatuan Islam
Persis didirikan di Bandung pada pemulaan tahun 1920an ketika orang-orang Islam di daerah-daerah lain telah lebih dahulu maju dalam berusaha untuk mengadakan pembaharuan dalam agama.
Adapun orang-orang yang berkelut dengan organisasi ini ialah H.Zamzam, H. M Junus, Ahmad Hasan, Mohammad Natsir dan lain-lain.
Dalam bidang pendidikan, Persis mendirikan sebuah madrasah yang mulanya dimaksudkan untuk anak-anak dari anggota persis. Tetapi kemudian madrasah ini diluaskan untuk dapat menerima anak-anak lain.
Jenis-jenis Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia
a.       Lembaga Pendidikan Islam Sebelum Kemerdekaan Indonesia
Pendidikan Islam mulai bersemi dan berkembang pada awal abad ke-20 M. dengan berdirinya madrasah yang bersifat formal.
Walaupun pemerintah Belanda sudah berusaha menekan dan menghancurkan pendidikan Islam Indonesia selama 350 tahun dengan bermacam-macam usaha disatu puhak mengeluarkan peraturan-peraturan yang merugikan pendidikan Islam Indonesia, namun pendidikan Islam tidak dapat hancur, bahkan tumbuh dan berkembang secara militant walaupun dalam keadaan serba kekurangan.
b.      Lembaga Pendidikan Islam Sesudah Indonesia Merdeka
Pada tahun 1946 secara resmi sekolah-sekolah umum mengajarkan pendidikan agama Islam. Lalu 1950 DEPAG mendirikan Sekolah Guru Agama Islam.
Pada bulan Juni 1957 di Jakarta membuka Akademi Dinas Ilmu Agama oleh DEPAG berdasarkan penetapan Menteri Agama No. I Tahun 1957. Tujuannya untuk mendidik dan mempersiapkan pegawai negeri.
Sistem dan Isi Pendidikan Islam
1.       Sistem Pendidikan Islam di Indonesia
Pada awal berkembangnya agama Islam di Indonesia, pendidikan Islam dilaksakan secara informal.
Sistem pendidikan Islam informal ini, terutama yang berjalan dalam lingukangan keluarga sudah diakui kempuhannya dalam menanamkan sendi-sendi agama dalam jiwa anak-anak.
Dari sini diperluas kemasyarakat dan berhasil. Maka didirikannya pndok pesantren yang tumbuh dan berkembang dimana-mana, yang ternyata mempunyai peranan yang sangat penting dalam usaha mempertahankan eksistensi umat Islam dari serangan dan penindasan fisik dan mental kaum penjajah bebrapa abad lamanya.
2.       Isi Pendidikan Islam di Indonesia.
Adapun isi pendidikan dan pengajaran agama Islam pada tingkat permulaan ini meliputi:
a.       Belajar membaca Al-Quran
b.      Pelajaran dan praktek shalat
c.       Pelajaran ketuhanan atau ketauhidan yang pada garis besarnya berpusat pada sifat dua puluh
Pada tingkat yang lebih tinggi diajarkannya Bahasa Arab, mulai mempelajari ushul fiqh.
Kemudian pendidikan Islam mengalami babak baru dengan munculnya system madrasah, yang penyelenggaranya lebih baik dan teratur.
Berdasarkan SKB3M, pengetahuan umum dan agama 70:30. Adapun tujuan pokok dari SKB3M ini agar mutu pengetahuan umum di madrasah sama dengan mutu pengetahuan umum disekolah umum yang sederajat.
Pendidikan Islam dan Pendidikan Nasional Indonesia
                Pendidikan Islam dan pendidikan nasional Indonesia tidak dapat dipisahkan. Karena konsep penyusunan system pendidikan nasional Indonesia itu sendiri, dan yang kedua dari hakikat pendidikan Islam dalam kehidupan beragama kaum muslimin di Indonesia.
                Dilihat dari segi hakikat pendidikan agama Islam, ternyata kegiatan mendidik memang merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan agama Islam baik dalam keluarga, masyarakat, lebih-lebih pusat-pusat peribadatan seperti langgar, surau atau masjid yang dikelola oleh seorang petugas yang sekaligus sebagai guru agama.
Dengan adanya gerakan pembaharuan Islam dan dengan datangnya system pendidikan Barat yang program belajar mengajarnya lebih terkoodinir dan lebih sistematik.
Pada era pembangunan sekarang ini, pendidikan agama di masyarakat tetap dibina dan digalakkan dalam usaha mengembangkan kehidupan bersama.
f.        Nahdatul Ulama
NU didirikan pada tanggal 16 Rajab 1344 H. (33 Januari 1926) di Surabaya. Pendirinya ialah alim ulama dari tiap-tiap daerah Jawa Timur. Diantaranya ialah :
1.       K.H. Asyim Asy’ari Tebuireng
2.       K.H. Abdul Wahab Hasbullah
3.       K.H. Bisri Jombang
4.       K.H. Ridwan Semarang
5.       Dll
Latar belakang didirikannya organisasi ini semula adalah sebagai perluasan dari suatu komite Hijaz yang dibangun dengan dua tujuan.
1.       Untuk mengimbangi komite Khilafat yang secara berangsur-angsur jatuh ketangan golongan pembaharuan.
2.       Untuk berseru kepada Ibnu Sa’ud, penguasa baru ditanah Arab, agar kebiasaan beragama secara tradisi dapat diteruskan.
Dalam bidang pendidikan dan pengajaran formal, NU membentuk satu bagian khusus yang mengelola kegiatan bidang ini dengan nama Al-Ma’arif yang berfungsi untuk membuat peundangan dan program pendidikan di lembaga-lembaga pendidikan.


[1] Riza Shibudi, masalah dan prospek,(Jakarta, Gema Insani: 1977), hal 20
[2] Ahmad Syaf’I Mufid, Tangklukan, Abangan, dan Tarekat,(Jakarta; Yayasan Obor Indonesia, 2006), hal 59
[3] Abdul Munir Mulichan dan Ahmad Adaby, 1 Abad Muhammadiyah, (Jakarta; PT. Kompas Nusantara, 2010). Hal. 3

Sabtu, 30 Juli 2011

Biografi dan Ide-ide Pemikiran Muhammad Taqi Misbah Politik Filsafat Islam

BAB I
PENDAHULUAN
Muhammad Taqi Misbah Yazdi lahir pada tahun 1914 di kota Yazd dari keluarga ulama`. Pada umur 7 tahun, beliau mulai memasuki pendidikan dasar dan menyelesaikannya pada tahun 1947 sebagai pelajar teladan. Kemudian beliau melanjutkan pendidikannya di Hauzah Ilmiyah Yazd, di bawah bimbingan Syeikh Muhammad Ali Nahwi.
Setelah kemenangan Revolusi Islam Iran, beliau memulai aktifitas keilmuan dan kebudayaan yang baru. Dengan melihat suatu hal yang sangat penting demi menjadikan universitas di Iran lebih Islami dan lebih dekat dengan hauzah-hauzah ilmiyah, beliau pun menjadi anggota Badan Revolusi Kebudayaan. Usaha pertama yang telah beliau lakukan adalah membentuk “Badan Kerja Sama Universitas-Hauzah”, dan ini adalah usaha yang sangat berarti dalam memajukan keilmuan dan budaya Islam.
Sekilas tentang politik filsafat islam. Jika kita hendak membuat perbandingan yang seimbang antara pandangan Islam dengan pandangan-pandangan lain dalam bidang politik dan bentuk pemerintahan, kita harus mempertimbangkan isu-isu penting dalam filsafat politik, dan setiap isu yang ditemukan dalam Islam, sambil membandingkannya dengan isu-isu yang lain. Kita harus melakukan pengamatan yang seksama tentang perbedaan-perbedaan mendasar di antara isu-isu tersebut. Dengan sangat singkat, pada kesempatan ini kita akan menyebutkan beberapa isu dan menjelaskan pandangan-pandangan Islam sambil merujuk pada isu-isu tersebut agar kita bisa membuat suatu perbandingan.

·        Isu yang pertama adalah pentingnya kehidupan sosial.
·        Isu yang kedua adalah diperlukannya hukum dalam kehidupan sosial.
·        Isu yang ketiga adalah bagaimana dan oleh siapa hukum tersebut harus disahkan.
·        Isu yang keempat adalah siapa yang harus memberlakukan hukum sosial.



BAB II
PEMBAHASAN
1.      Biografi Muhammad Taqi Misbah
Beliau lahir pada tahun 1914 di kota Yazd dari keluarga ulama`. Pada umur 7 tahun, beliau mulai memasuki pendidikan dasar dan menyelesaikannya pada tahun 1947 sebagai pelajar teladan. Kemudian beliau melanjutkan pendidikannya di Hauzah Ilmiyah Yazd, di bawah bimbingan Syeikh Muhammad Ali Nahwi. Pendidikan dasar hauzah beliau tamatkan dalam waktu 4 tahun hingga selesai membaca kitab Rasa`il dan Makasib. Dengan dukungan keluarga, beliau melanjutkan pendidikan ke Najaf Asyraf pada tahun 1952. Setahun kemudian, beliau kembali ke kota Qom dan mengikuti pendidikan tingkat Bahtsul kharij yang disampaikan oleh Imam Khomeini.
Dengan menghadiri pelajaran tafsir dan filsafat Allamah Thabathaba’i, beliau tidak hanya menimba ilmu dari Allamah, akan tetapi juga menjalin hubungan spritual-akhlaqi tersendiri dengan Allamah. Begitu pula dengan Ayatullah Anshari dan Ayatullah Bahjat.
Aktifitas politik beliau mulai dengan bergabung dengan partai Kebangkitan Ulama` (Nehzat-e Ruhaniyat) yang menentang rezim zalim Pahlevi. Dengan mengenal dan bekerjasama dengan pribadi-pribadi agung, seperti Ayatullah Syahid Dr. Muhammad Husein Bahesyti dan Syahid Ayatullah Murtadha Muthahhari, beliau memimpin bidang kebudayaan pergerakan partai tersebut.
Dalam bidang pendidikan, beliau memulai aktifitas dan kerja sama dengan Syahid Bahesyti dan Syahid Quddusi dengan menyingkap berbagai kejanggalan dalam sistem pendidikan Hauzah, dan berusaha memperbaikinya, serta lebih mengaktifkan Hauzah sebagai pusat keilmuan dan kebudayaan, sekaligus mendekatkan hubungannya dengan badan-badan pendidikan penting lainnya, seperti universitas. Kerja sama ini dilakukan di Madrasah Haqqani dan Muntazeriyeh.
Aktifitasnya pun bertambah padat ketika beliau menjadi anggota Badan Pengasuh Madrasah Haqqani, dan bekerja sama dengan Yayasan Ilmu dan Budaya “Dar Rah-e Haq” dengan berperan menjadi perintis Seksi Pendidikannya. Selain itu, dengan cara mengajar fisafat dan Al Quran, beliau membentuk pertemuan-pertemuan yang membahas masalah akidah dan etika, dan bekerja sama dengan penerbit-penerbit seperti Intiqam dan Bi’tsat, berusaha melawan pemikiran-pemikiran dan akidah sesat yang berupaya merubah Islam demi kepentingan pribadi ataupun melenyapkan Islam itu sendiri.
Setelah kemenangan Revolusi Islam Iran, beliau memulai aktifitas keilmuan dan kebudayaan yang baru. Dengan melihat suatu hal yang sangat penting demi menjadikan universitas di Iran lebih Islami dan lebih dekat dengan hauzah-hauzah ilmiyah, beliau pun menjadi anggota Badan Revolusi Kebudayaan. Usaha pertama yang telah beliau lakukan adalah membentuk “Badan Kerja Sama Universitas-Hauzah”, dan ini adalah usaha yang sangat berarti dalam memajukan keilmuan dan budaya Islam.
Langkah keilmuan beliau tak hanya terhenti sampai di sini. Dengan membentuk pusat keilmuan “Baqirul ‘Ulum ”, beliau berusaha memperbaiki dan membuka sistem baru pendidikan hauzah. Dan kini, dengan perluasan yang sedemikian rupa, pusat keilmuan ini telah menjadi salah satu kutub keilmuan dan pendidikan di Iran dalam ilmu-ilmu hauzah dan universitas. Beliaupun aktif dalam Yayasan Pendidikan Imam Khomeini.
Beliau sekarang menjabat sebagai anggota Majlis Tinggi Revolusi Kebudayaan, ketua Yayasan Imam Khomeini, anggota Jami'atul Mudarrisin Hauzah Ilmiah Qom.
Selain aktifitas keilmuan yang telah disebutkan di atas, beliau juga aktif melakukan safari ilmiah ke berbagai negara di dunia guna menyebarkan Islam. Selain itu, beliau juga masih memiliki beberapa karya penting dan berharga di bidang ilmu logika, Al Quran dan hadits.
2.       Pemikiran Muhammad Taqi Misbah
Sekilas tentang politik filsafat islam. Jika kita hendak membuat perbandingan yang seimbang antara pandangan Islam dengan pandangan-pandangan lain dalam bidang politik dan bentuk pemerintahan, kita harus mempertimbangkan isu-isu penting dalam filsafat politik, dan setiap isu yang ditemukan dalam Islam, sambil membandingkannya dengan isu-isu yang lain. Kita harus melakukan pengamatan yang seksama tentang perbedaan-perbedaan mendasar di antara isu-isu tersebut. Dengan sangat singkat, pada kesempatan ini kita akan menyebutkan beberapa isu dan menjelaskan pandangan-pandangan Islam sambil merujuk pada isu-isu tersebut agar kita bisa membuat suatu perbandingan.
Isu yang pertama adalah pentingnya kehidupan sosial. Dalam islam sebagaimana mazhab pemikiran yang lain, menekankan pentingnya kehidupan sosial. Namun lebih daripada itu, Islam menganggap perhatian pada permasalahan sosial dan perjuangan bagi kepentingan semua umat manusia sebagai suatu kewajiban. Tidak peduli pada permasalahan semacam itu, dalam Islam dianggap sebagai dosa besar. Perhatian ini begitu pentingnya sehingga kadang-kadang kita harus mengorbankan semua harta bahkan mempertaruhkan nyawa sendiri demi menyelamatkan orang lain dari berbagai ancaman dan gangguan yang bersifat lahiriah atau batiniah, dari kesesatan dan kerusakan spiritual, dan dari kemalangan di akhirat. Nampaknya sejauh ini tidak ada mazhab pemikiran lain selain Islam yang telah mengajukan pemikiran ini. Tentu saja, kita percaya bahwa tidak ada agama samawi yang saling bertentangan dalam hal prinsip-prinsip dan peraturan-peraturan yang mendasar. Lazimnya, semuanya memiliki pandangan yang sama dengan Islam.
Isu yang kedua adalah diperlukannya hukum dalam kehidupan sosial, karena tak ada masyarakat yang bisa bertahan hidup tanpa adanya peraturan dan ketentuan sosial. Jika tidak, masyarakat akan terjatuh dalam kekacauan, keburukan, dan kerusakan. Pandangan Islam tentang masalah ini juga jelas, dan tidak mengundang pertanyaan untuk penjelasan lebih lanjut. Namun demikian, kita perlu menyebutkan dua hal pokok. Yang pertama adalah bahwa dari perspektif Islam, tujuan hukum bukan hanya untuk menciptakan peraturan dan disiplin sosial, namun lebih dari itu adalah untuk menjaga keadilan sosial; karena, pertama, tanpa keadilan peraturan tersebut tidak akan bertahan dan pada umumnya, manusia selamanya tidak akan bisa menerima ketidakadilan dan penindasan; dan yang kedua, dalam masyarakat yang tidak diperintah dengan keadilan, kebanyakan orang tidak akan memperoleh kesempatan untuk menikmati kemajuan dan pembangunan yang diinginkan, dan karenanya tujuan penciptaan manusia tidak akan terwujud.[1]
Hal pokok yang lainnya adalah bahwa dari sudut pandang Islam, hukum-hukum sosial harus bisa mempersiapkan landasan dan kondisi yang mendukung perkembangan spiritual dan kebahagiaan abadi bagi manusia. Paling tidak, hukum-hukum sosial tidak boleh bertentangan dengan perkembangan spiritual, karena dalam pandangan Islam, kehidupan di dunia ini tak lain adalah suatu tahap persinggahan dalam keseluruhan rangkaian kehidupan manusia, yang singkat masanya namun memiliki peran yang fundamental bagi nasib manusia. Artinya, dalam masa inilah manusia dengan perilaku sadarnya harus mempersiapkan dirinya untuk memperoleh kebahagiaan atau siksa abadi. Bahkan jika suatu hukum bisa menegakkan suatu tatanan sosial namun menyebabkan kemalangan abadi bagi manusia, dari sudut pandang Islam hukum ini tidak bisa diterima, bahkan jika hukum tersebut diterima oleh mayoritas.
Selain itu dalam hal lain, yakni dalam berziarah ke makam rasul dan para imam suci, lalu Anda mencium kuburan mereka, hal intu bukanlah musyrik. Kalau bukan karena firman Allah dan bukan lantaran hubungan auliya dengan Allah Ta’ala, tindakan ini memang dapat dianggap suatu tahap kemusyrikan. Tetapi, karena itu dilakukan dengan rangka kesetiaan pada firman Allah dan lantaran kedekatan auliya dengan Allah, maka ia bukan saja tidak kemusyrikan, tetapi justru merupakan tauhid itu sendiri.[2]
Isu yang ketiga adalah bagaimana dan oleh siapa hukum tersebut harus disahkan. Teori yang berlaku di kebanyakan masyarakat dewasa ini adalah bahwa hukum harus disahkan dan disepakati oleh masyarakat itu sendiri, atau wakil-wakil mereka. Karena konsensus dari semua anggota masyarakat maupun dari semua wakil-wakil mereka itu praktis mustahil terjadi, maka pendapat mayoritas (bahkan jika hanya setengah plus satu) merupakan kriteria validitas hukum tersebut.[3]
Pertama-tama, teori ini didasarkan pada pemikiran bahwa tujuan dari hukum adalah untuk memuaskan kebutuhan masyarakat, bukan untuk memberikan sesuatu yang benar-benar akan menguntungkan mereka. Kedua, karena mustahil diperoleh kesepakatan yang bulat, kita harus cukup puas dengan pendapat mayoritas. Namun demikian, tujuan hukum untuk memuaskan kebutuhan masyarakat ini tidak diterima oleh Islam, karena banyak orang yang ingin memuaskan instink kebinatangannya dan nafsu sesaat tanpa memikirkan konsekuensinya yang begitu mengerikan.
Biasanya jumlah orang-orang seperti itu paling tidak setengah plus satu, sehingga hukum-hukum sosial didikte oleh hasrat orang-orang seperti itu.
Jelas bahwa mazhab-mazhab yang percaya pada tujuan-tujuan di luar nafsu binatang dan hasrat yang hina tersebut tidak akan bisa menerima pemikiran ini.
Berkenaan dengan pemikiran yang kedua, yaitu keabsahan pengambilan suara mayoritas pada saat tidak tercapai kesepakatan yang bulat, harus dikatakan bahwa hanya pada saat tidak adanya ketetapan ketuhanan dan kriteria ilmiah sajalah suara mayoritas bisa dijadikan kriteria untuk menetapkan suatu keputusan. Namun demikian, dalam sistem Islam, kriteria ketuhanan dan ilmiah semacam itu ada. Selain itu, biasanya kalangan minoritas yang memiliki kekuasaan, dengan menggunakan berbagai fasilitas untuk menebar propaganda, mempunyai peranan yang penting dalam menghubungkan berbagai pemikiran dan keyakinan orang lain, dan memang pada kenyataannya apa yang ditetapkan hanyalah kehendak dari minoritas yang terbatas namun berkuasa, bukanlah kehendak yang sesungguhnya dari semua orang atau mayoritas. Lebih jauh lagi, jika kriterianya adalah bahwa pilihan masyarakat tersebut akan sesuai untuk mereka sendiri, mengapa kita tidak juga menerima bahwa pilihan suatu kelompok minoritas juga sesuai untuk dirinya sendiri, walaupun hal tersebut akan menyebabkan munculnya sejenis otonomi. Dalam hal ini, apa yang menjadi justifikasi logis bagi pemerintah-pemerintah dalam menentang keinginan beberapa kelompok sosial yang mereka kuasai dengan paksa.
Berkaitan deengan permasalahan ini, dari sudut pandang Islam, hukum-hukum harus disahkan sedemikian rupa sehingga bisa memberikan manfaat bagi anggota masyarakat, khususnya bagi mereka yang ingin meningkatkan diri dan ingin memperoleh kebahagiaan abadi. Jelas bahwa hukum semacam itu harus disahkan oleh seseorang yang memiliki pengetahuan yang memadai tentang manfaat yang sejati dan sesungguhnya bagi manusia, dan yang kedua, yang tidak mengorbankan manfaat bagi orang lain demi kepentingannya pribadi dan nafsu yang sia-sia. Jelas bahwa tak ada yang lebih bijaksana daripada Tuhan Yang Mahakuasa, yang tidak memiliki kepentingan atas hamba-hamba-Nya atau apa yang mereka lakukan, dan yang telah menetapkan ketentuan ketuhanan hanya demi memberikan manfaat bagi hamba-hamba-Nya itu. Tentu saja, hukum-hukum sosial yang digambarkan dalam kitab-kitab yang diturunkan dari langit itu tidak secara eksplisit menyatakan semua ketentuan sosial yang berlaku di semua tempat dan waktu. Namun demikian, hukum agama memberikan kerangka umum yang bisa menjadi sumber penetapan peraturan yang diperlukan, berkaitan dengan perbedaan waktu dan tempat. Jadi, paling tidak dengan mencermati batasan-batasan yang ditetapkan oleh kerangka umum ini, mungkin keterjatuhan ke jurang kebinasaan abadi bisa dihindari.
Isu yang keempat adalah siapa yang harus memberlakukan hukum sosial. Islam, sebagaimana kebanyakan mazhab politik yang lain, membutuhkan keberadaan suatu negara sebagai kekuatan yang bisa mencegah penyimpangan hukum, dan kelemahan suatu negara akan berarti terhambatnya penerapan hukum, keadaan chaos, dan pelanggaran hak-hak kaum yang lemah.
Jelas bahwa ada dua kualifikasi fundamental bagi mereka yang bertugas menerapkan hukum, terutama bagi yang berada di puncak piramida kekuasaan: pertama, pengetahuan yang memadai dari hukum tersebut untuk menghindari penyimpangan yang disebabkan oleh ketidaktahuan; dan yang kedua, kontrol pribadi atas kehendaknya untuk mencegah keinginan yang disengaja untuk menerapkan hukum secara salah. Kualifikasi yang lain, seperti kepandaian administratif, keberanian, dan sebagainya, bisa dianggap sebagai syarat pendukung. Lazimnya, yang ideal adalah bahwa orang yang menjalankan hukum tersebut harus secara umum tanpa ketidaktahuan, keegoisan, dan yang sejenisnya, dan ia adalah orang yang dalam termonologi religius disebut sebagai maksum (terlepas dari dosa). Semua umat Islam percaya pada kemaksuman Nabi Muhammad saw dan penganut Syi’ah juga percaya pada kemaksuman para Imam as. Pada saat orang yang maksum tidak ada, dalam memilih pemimpin dan posisi di bawahnya dalam hirarki pemerintahan secara proporsional, kriteria semacam ini harus ditepati sejauh mungkin.
Pada dasarnya, landasan dari konsep Wilayat-e Faqih (penjagaan jurisprudensi yang memenuhi semua persyaratan yang diperlukan) adalah suatu proposisi bahwa seseorang yang mendekati derajat kemaksuman harus menempati posisi orang yang maksum, yaitu pada posisi puncak piramida kekuasaan, sehingga posisi ini bisa ditempati oleh orang yang paling memiliki pengetahuan tentang hukum dan peraturan dan dasar-dasar fundamentalnya, orang yang paling memiliki ketakwaan dan kontrol diri. Dengan kedua syarat dasar ini (jurisprudensi dan ketakwaan) nampaknya paling tidak ia tidak akan secara sengaja atau tidak sengaja, melanggar hukum Islam.
Hal lain yang bisa dibahas di sini adalah bahwa dari sudut pandang Islam tidak ada manusia yang memiliki hak secara intrinsik untuk mengatur orang lain, bahkan jika ia mengeluarkan ketetapan-ketetapan yang benar dan adil, karena semua orang, sebagaimana makhluk-makhluk lain, adalah diciptakan dan merupakan kepunyaan Allah Yang Mahakuasa, dan tak seorang pun yang boleh turut campur dengan kepunyaan orang lain tanpa izin pemiliknya. Seorang manusia tidak memiliki hak, bahkan untuk menggunakan anggota tubuhnya sendiri dengan cara yang bertentangan dengan kehendak Tuhan, dan sebagai konsekuensinya, ia tidak bisa membiarkan orang lain melakukannya juga. Karenanya, satu-satunya yang memiliki hak mutlak untuk memerintah dan menolak siapa pun dan apa pun hanyalahTuhan Yang Mahaesa. Semua otoritas dan wilayah harus berasal dari Dia atau paling tidak dengan hukum-hukum-Nya. Jelas bahwa Tuhan Yang Mahakuasa tidak akan pernah mengizinkan siapa pun untuk menjalankan hukum tanpa memiliki pengetahuan yang memadai tentang hukum-hukum-Nya, atau tanpa jaminan kebenaran dari tindakannya dan kepatuhannya pada hukum-hukum ketuhanan, atau tanpa ketakwaan, dan kualifikasi moral yang memadai.
Di sisi lain, kita mengetahui bahwa kecuali bagi para Nabi dan penerus mereka yang terpilih (Imam maksum; ed.), tidak ada orang lain yang secara khusus ditunjuk oleh Tuhan untuk menjalankan hukum dan untuk memerintah. Jadi, manusia harus berusaha untuk menemukan orang-orang yang sebisa mungkin menyerupai para nabi dan para Ma’shumin (orang-orang yang maksum). Nampaknya cara yang terbaik adalah dengan menyeleksi para ahli agama yang terpercaya (para ahli hukum yang takwa), lalu meminta mereka untuk memilih yang terbaik di antara mereka sendiri, karena para ahli bisa memilih orang yang terbaik dengan lebih tepat.[4]
Cara penyelesaian seperti itu akan lebih aman dari terpilihnya orang yang lemah, baik secara disengaja atau tidak disengaja.
Juga jadi jelas bahwa bentuk politik Islam diturunkan dari elemen-elemen dasar pandangan dunia Islam dan pandangannya terhadap manusia. Artinya, penekanan pada sifat adil suatu hukum dan keselarasannya dengan peningkatan spiritual manusia berasal dari pandangan bahwa Tuhan Yang Mahakuasa menciptakan semua umat manusia agar manusia itu bisa mengikuti jalan peningkatan diri menuju kedekatan dengan Tuhan dan kebahagiaan abadi melalui keutamaan budi pekerti dalam kehidupan.
Hak manusia untuk memperoleh kebahagiaan dan untuk menikmati anugerah yang ada di dunia ini adalah agar semuanya bisa menapaki jalan peningkatan diri dengan cara yang lebih baik dan lebih cepat. Penerapan hukum-hukum ketuhanan dan prinsip-prinsip agama, baik jika diterapkan untuk individu atau untuk masyarakat adalah untuk menentukan landasan utama bagi jalan ini. Semakin sempurna seseorang, akan makin sempurna juga kemampuan menyerap objek-objek penyelidikannya dan hasil yang diperolehnya. Menurut Muhammad Taqi Misbah, pengenalan kita tentang Tuhan dan juga eksistensi, seperti yang dikemukaan oleh Descartes. Merupakan pengenalan yang bersifat presential dan kurangnya intensitas dan kesempurnaan pada diri si subjek yang mengetahuinya.[5] Keahlian dalam bidang hukum dan ketakwaan selain kualifikasi administratif yang lainnya adalah untuk menjamin tercapainya kemajuan masyarakat secara umum, untuk mencapai kebahagiaan abadi, dan untuk mencegah penyimpangan yang disengaja atau yang tidak disengaja dari jalan jalan yang benar dalam kehidupan masyarakat.

BAB III
PENUTUP
3.       Kesimpulan
·         Islam menganggap perhatian pada permasalahan sosial dan perjuangan bagi kepentingan semua umat manusia sebagai suatu kewajiban. Tidak peduli pada permasalahan semacam itu, dalam Islam dianggap sebagai dosa besar.
·         Teori yang berlaku di kebanyakan masyarakat dewasa ini adalah bahwa hukum harus disahkan dan disepakati oleh masyarakat itu sendiri, atau wakil-wakil mereka. Karena konsensus dari semua anggota masyarakat maupun dari semua wakil-wakil mereka itu praktis mustahil terjadi, maka pendapat mayoritas (bahkan jika hanya setengah plus satu) merupakan kriteria validitas hukum tersebut.
·         hukum-hukum harus disahkan sedemikian rupa sehingga bisa memberikan manfaat bagi anggota masyarakat, khususnya bagi mereka yang ingin meningkatkan diri dan ingin memperoleh kebahagiaan abadi.
·         manusia harus berusaha untuk menemukan orang-orang yang sebisa mungkin menyerupai para nabi dan para Ma’shumin (orang-orang yang maksum). Nampaknya cara yang terbaik adalah dengan menyeleksi para ahli agama yang terpercaya (para ahli hukum yang takwa), lalu meminta mereka untuk memilih yang terbaik di antara mereka sendiri, karena para ahli bisa memilih orang yang terbaik dengan lebih tepat.
Kita berharap bahwa Tuhan Yang Maha Kuasa akan menganugerahkan kepada kita semua kesempatan untuk bersyukur kepada-Nya atas karunia berupa hukum-Nya dan petunjuk untuk menuju kehidupan yang penuh kebahagiaan yang kita cari.
4.       Kritik Dan Saran
Dalam hal penulisan, penulis masih banyak terdapat kekurangan, untuk itu penulis mengharapkan sekali bagi para pembaca untuk memberikan kritik dan saran nya yang membangun demi kesempurnaan makalah ini.



DAFTAR PUSTAKA

Kartanegara Mulyhadi, 2005, Integrasi ilmu: sebuah rekonstruksi holistik. Bandung: Mizan Pustaka
Misbah Muhammad Taqi. 1996, A Glimpse at the Political Philosophy of Islam. Iran: International Relations Dept.
Misbah Muhammad Taqi. 1999, A Glimpse at the Political Philosophy of Islam. Iran: International Relations Dept.
uhyidin Muhammad, 2008, Hidup di pusaran al-fatihah: mengungkap keajaiban kontruksi ummul kitab. Bandung: Mizan Pustaka.


[1] Muhammad Taqi Misbah, A Glimpse at the Political Philosophy of Islam, (Iran; International Relations Dept. 1996)
[2] Muhammad Muhyidin, Hidup di pusaran al-fatihah:mengungkap keajaiban kontruksi ummul kitab, (Mizan Pustaka: bandung, 2008) hal 170
[3] Ibid
[4] Muhammad Taqi Misbah, A Glimpse at the Political Philosophy of Islam, (Iran; International Relations Dept. 1999)
[5] Dr. mulyhadi kartanegara, Integrasi ilmu: sebuah rekonstruksi holistik, (Mizan pustaka, Bandung) hal 143