Balai Inspirasi

Cari Inspirasi

Kamis, 05 Januari 2012

IMPIAN MENJADI GURU DI MASA DEPAN



Pendidikan merupakan hal pertama yang dipikirkan oleh setiap orang tua. Oleh karena itu, pembenahan diri terhadap pendidikan yang bermutu sebagai calon guru merupakan modal dari terbentuknya sebuah keluarga untuk anaknya.

Sejak SMA kelas 11, saya telah bercita-cita untuk menjadi seorang guru dan hal ini didukung oleh keluarga pula.

Selain itu, adanya niat dari diri sendiri untuk bercita-cita menjadi seorang guru, sekaligus adanya contoh dan bantuan dari kakak-kakak perempuan yang semuanya menjadi seorang guru dari zaman saya masih SD hingga sekarang mengabdi kepada sekolah.

Untuk membenahi system pendidikan yang baik, perlu adanya perbaikan atau pembenahan pada diri sendiri sebagai calon guru serta memahami perbedaan pendidikan antara mendidik SD, SMP, SMA dan perkuliahan.

Setelah memasuki masa perkuliahan, saya mulai meneliti untuk mencari jawaban. Bagaimanakah cara mendidik anak SMK terlebih dahulu???

Ternyata setelah saya mengajar disekolah tersebut, banyak hal yang perlu dibenahi pada diri saya sendiri. Seperti halnya, dalam bidang beribadah kepada YME, perlu ditingkatkan lagi agar menjadi contoh yang baik bagi peserta didik. Selain itu, dari segi pengajaran perlu adanya pembelajaran yang menarik yakni dengan menggunakan games ataupun system PAIKEM yang kini diajarkan kepada guru-guru agar memberikan pembelajaran lebih menarik..

Setelah itu, saya memberanikan diri untuk mengajar di SD. Pada saat itu saya hanya berfikir “ah kayanya gampang kalo Cuma ngajar anak SD kaya ngajarin keponakan dirumah”. Walhasil yang saya dapatkan dari SD tersebut adalah hal yang sama dengan system pengajaran di SMK dan penambahan perlu adanya kesabaran dan ketelatenan yang baik untuk mendidik mereka.

Dari semua itu, pola pikir yang berbeda tentang cara mendidik dengan taraf yang berbeda pula harus ditingkatkan. Walaupun sekarang guru hanya mengajar di satu sekolah saja dan dengan satu taraf saja. Tetapi perlu adanya penambahan pembelajaran yang baik untuk seorang anaknya sendiri sesuai dengan tingkatan anak yang mereka miliki.

Pembenahan diri, penambahan ilmu, perbaikan system pengajaran yang lebih maju menjadi modal tersendiri bagi si pendidik. Jika dilihat untuk zaman sekarang, sudah mulai adanya perbaikan yang maju dan modern dengan adanya pelatihan-pelatihan bagi guru.

Terlihat dari segi hal tersebut, kemajuan dari pola pikir seorang guru memang perlu diperlukan. Menerima pendapat peserta didik, bergaul dengan peserta didik. Peran dan figur para guru menjadi penting tatkala perilaku baik menjadi tujuan yang hendak dicapai.

Mungkin terlihat mudah bagi kita untuk melaksanakan ini semua, tetapi tidak pada kenyataannya. Tidak semua orang bisa mengajar dan mendidik, perlu adanya tingkat mental yang baik dan jiwa yang semangat untuk mencari ilmu serta memberikan ilmu kepada orang yang membutuhkan yakni disebut peserta didik.

Impian menjadi guru yang dari dulu saya cita-citakan kini telah terwujud, dan disyukuri atas nikmat Allah berikan kepada saya. Ikhtiar yang saya lakukan kini telah membuahkan hasil yang telah diharapkan.

Belajar dari keluarga itu, sangatlah menarik jika hal itu diterapkan dalam keluarga pendidikan, khususnya dalam lingkup sekolah kaitannya dengan korps guru.

Bagaimana para guru menjaga keutuhan guru-guru sebagai satu keluarga pendidik adalah sebuah proses pembentukan karakter sebagai pendidik yang baik dan benar?? Problematik pastinya akan menyelimuti dan bergejolak dalam keluarga pendidik itu. Perbedaan pendapat, keragaman karakter, dan aneka latar belakang menjadi faktor yang bisa memunculkan berbagai problematik yang bahkan merujuk pada konflik. Dalam kehidupan bersama, hal itu semestinya menjadi sebuah kenormalan dan kesadaran bersama.

Masalahnya adalah bagaimana guru-guru dalam satu kesatuan keluarga pendidik bersikap ke luar berangkat dari perbedaan yang memungkinkan adanya konflik itu. Inilah sebuah proses pribadi dalam komunitas keluarga pendidik menuju pada pembentukan karakter guru yang bijaksana. Ketidakmampuan mengolah konflik atau lika-liku proses di dalam keluarga pendidik kadangkala dengan mudahnya mencari sebuah pelampiasan yang cenderung menjadi sebuah pembelaaan atau pembenaran diri.

Sebagai sebuah contoh, adanya beberapa guru dalam satu bidang studi dapat menimbulkan ketidakdewasaan guru yang menjurus pada perilaku tidak bijaksana di luar keluarga pendidik. Adanya perbedaan paradigma dalam pembelajaran atau bahkan permasalahan pribadi di antara mereka seringkali dengan mudah masing-masing guru saling menjelek-jelekkan di depan siswa atau juga orang tua siswa. “Wah…. gak benar seperti itu! Gurumu kelas satu tuh gimana tho ngajarnya?” Itu sebuah contoh ungkapan seorang guru di kelas dua yang secara tidak langsung mau mengatakan bahwa guru kelas satu dari anak-anak itu “salah” atau lebih keras lagi “bodoh”. Atau, “Wah…. memang benar bu, Pak/Bu X itu kalau ngajar asal-asalan.” Ini malah secara terang-terangan menjelek-jelekkan guru lain di depan orang tua siswa.

Sesungguhnya menjelekkan anggota keluarga lain (sesama guru) tidak memberi solusi apa-apa, malah justru menunjukkan ketidakdewasaan karakter karena membuat masalah keluarga pendidik menjadi konsumsi publik yang tidak tahu-menahu konteks permasalahanya. Yang ada adalah justru membuat penghakiman atas guru tertentu yang mana penghakiman itu melahirkan sebuah fitnah yang keji. Fitnah inilah sebuah pembunuhan karakter yang tidak adil karena orang yang difitnah tidak memiliki kesempatan untuk menjelaskan apa-apa. Yang ada adalah para murid dan orang tua siswa menghakimi guru tertentu atas dasar informasi guru tertentu pula.

Akhirnya, pembelajaran dalam keluarga pendidik harus terus dilakukan secara berkesinambungan untuk mendewasakan masing-masing pribadi. Usia sesorang bukanlah ukuran dan jaminan kedewasaan karakter sesorang. Namun kemauan belajar dan terus belajar adalah sebuah harapan akan kedewasaan karakter, khsusnya dalam keluarga pendidik. Peran pemimpin sangat penting dalam memfasilitasi para anggota keluarga pendidik untuk terus belajar lewat perjumpaan bersama dalam suasana bicara dari hati ke hati secara teratur dan terus menerus, seperti sarasehan guru, pembelajaran di alam untuk guru, acara rohani bersama, dan masih banyak lagi. Marilah kita mendewasakan karakter diri sendiri demi karakter/kepribadian keluarga dengan mengupayakan guru yang bijaksana!!

Ranah proses berfikir (Kognitif), ranah nilai atau sikap (Afektif), dan Ranah keterampilan (Psikomotorif). Dalam konteks evaluasi hasil belajar, maka ketiga hal atau ranah itulah yang harus dijadikan sasaran dalam setiap kegiatan evaluasi hasil belajar. Sasaran kegiatan evaluasi hasil belajar adalah:

1) Apakah peserta didik sudah dapat memahami semua bahan atau materi pelajaran yang telah diberikan pada mereka?

2) Apakah peserta didik sudah dapat menghayatinya?

3) Apakah materi pelajaran yang telah diberikan itu sudah dapat diamalkan secara konkrit dalam praktek atau dalam kehidupannya sehari-hari?

Ketiga ranah tersebut menjadi obyek penilaian hasil belajar. Akan tetapi diantara ketiga ranah itu, ranah kognitiflah yang paling banyak dinilai oleh para guru disekolah karena berkaitan dengan kemampuan para siswa dalam menguasai isi bahan pengajaran. Sedangkan akhlak yang menjadi citra bangsa menjadi lebih baik menjadi di nomor kesekiankan.

Tugas pendidik atau guru bukan sekedar menyalurkan ilmu pengetahuan, tetapi merangkumi pendidikan akhlak kepada anak murid. Mengajar dalam apa bidang sekalipun, aspek membina kepribadian seharusnya diletakkan sebagai teras kepada usaha pendidikan itu. Dalam zaman serba modern secara pengajarannya guru juga semakin bersabar dengan tingkah laku peserta didik. Banyak dilaporkan mengenai adanya guru yang tidak dapat mengatur emosi lalu mengambil tindakan menghukum anak didik di luar batas etika sebagai seorang pendidik.

Pada suatu tingkat tertentu mungkin guru yang terlihat afektif tidak efektif pada tingkat yang lain, hal ini disebabkan oleh adanya perbedaan-perbedaan dalam tingkat perkembangan mental dan emosional peserta didik. Dengan kata lain para siswa memiliki respons yang berbeda-beda terhadap pola-pola prilaku guru yang sama. Guru yang baik dapat dideskripsikan sebagai berikut :

Guru yang baik adalah guru yang waspada secara profesional. Ia terus berusaha untuk menjadikan masyarakat sekolah menjadi tempat yang paling baik bagi anak-anak muda ataupun anak-anak kecil tergantung taraf guru tersebut mengajar. Mereka yakin akan nilai atau manfaat pekerjaannya. Mereka terus berusaha memperbaiki dan meningkatkan mutu pekerjaannya. Mereka tidak lekas tersinggung apabila ada yang berbeda opini dengannya, bahkan dapat menerimanya jika itu yang terbaik untuk dirinya. Mereka secara psikologi lebih matang sehingga rangsangan-rangsangan terhadap dirinya dapat diterima. Mereka memiliki seni dalam hubungan-hubungan manusiawi yang diperolehnya dari pengamatannya tentang bekerjanya psikologi dan kultural di dalam kelas.

Guru perlulah senantiasa ingat bahwa mendidik manusia memerlukan kesabaran tinggi dan nilai kasih sayang yang kental. Tanpa dua sifat penting itu, guru akan berhadapan masalah. Dengan kasih saying seorang guru serta diiringi dengan kesabaran dan ketekunan dalam mendidik peserta didik akan membuahkan hasil yang baik bagi peserta didik dan timbale balik kepada guru itu menjadi guru favourite di sekolah tersebut dan disayangi serta dihormati oleh peserta didik.

Dengan menjadi guru seperti itu, system belajar dan pembelajaran akan tercapai secara maksimal. Seorang guru akan nyaman dengan keadaan kelas yang peserta didiknya saying akan kepada gurunya, bukan membangkang kepada gurunya.

Guru lebih mudah dikenal dan diingat siswa. Guru yang berkarakter lebih dikenang dibadingkan guru yang biasa saja “yang penting ngajar”. Jika guru memiliki murid yang selalu diidolakan dan dibanggakan, begitu pula sebaliknya, murid pun memiliki guru idola.

Menerangkan dengan jelas. penyampaian materi yang jelas menjadi poin plus untuk setiap guru. Terlebih lagi apabila guru tersebut mau mengulang materi yang telah disampaikan jika masih ada siswa yang kurang paham.

Periang dan memiliki rasa humor. Sikap periang dan memiliki selera humor dapat mencairkan suasana yang tegang dalam kelas. Hendaknya sikap periang dan humor ini ditempatkan pada situasi, kondisi yang tepat dan tidak berlebihan.

Menaruh perhatian kepada setiap siswa tanpa “menganak-emaskan” salah satu dari mereka. Serta selalu memahami situasi siswa baik fisik maupun mental.

Memberi motivasi untuk membangkitkan minat dan semangat siswa dalam belajar. Tegas dan sanggup menguasai kelas. Tidak suka ngomel, mencela, dan marah-marah. apalagi tanpa sebab yang logis. Mempunyai pribadi yang bisa dicontoh. Biasanya siswa akan memandang dari penampilan fisik kemudian berlanjut pada kepribadian.

Mulai sekarang mari berusaha dan terus mencoba untuk menjadi guru sekaligus sahabat yang menyenangkan bagi murid kita. Guru yang diidolakan oleh muridnya adalah guru yang selalu dicari jika tak hadir. Murid akan marah jika bukan kita yang mengajar, dan selalu dinantikan kedatangannya

Dari penjabaran semua ini, marilah kita membentuk kepribadian menjadi lebih baik, meningkatkan kesabaran, ketelatenan, saling menghormati dengan satu ruang lingkup guru, menyayangi peserta didik seperti halnya menyayangi keluarga sendiri. Insya Allah akan tercapai keharmonisan yang indah dalam ruang lingkup sekolah maupun diluar sekolah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar